Jumat, 15 Januari 2016

Artikel : Penghasilan Jasa Konstruksi Sebagai Objek PPh Pasal 4 (2) dan Saat Terutangnya



Penghasilan Jasa Konstruksi Sebagai Objek PPh Pasal 4 (2) dan Saat Terutangnya


 


Dalam ketentuan perpajakan Indonesia diatur beberapa penghasilan sebagai objek pajak yang dikenakan pajak final PPh pasal 4 (2).  Salah satu yang dikenakan PPh pasal 4 (2) tersebut adalah jasa konstruksi dengan tarif 2 s.d 6%. Dalam pengakuan penghasilan jasa konstruksi diketahui bahwa penghasilan diakui dengan metode presentasi penyelesaiaan pekerjaan (Percentage-of-completion method). Dengan penerapan metode presentasi penyelesaiaan pekerjaan ini dapat terjadi perbedaan antara nilai penghasilan yang dicatat dalam laporan keuangan perusahaan jasa konstruksi dengan nilai penghasilan menurut faktur (invoice) yang diterbitkan untuk penagihan pembayaran. Apabila PPh pasal 4 (2) dikenakan atas penghasilan jasa konstruksi, sedangkan nilai penghasilan itu bisa berbeda, maka boleh jadi  timbul pertanyaan dari wajib pajak tentang besaran penghasilan mana yang dihitung PPh pasal 4 (2) serta  kapan terutangnya PPh tersebut.

Sebelum mendiskusikan lebih jauh tentang dua pertanyaan di atas, ada baiknya dilihat dulu pengertian jasa konstruksi dalam ketentuan perpajakan. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 tahun 2008 tentang Pajak atas Penghasilan dari Jasa Usaha Konstruksi, yang dimaksud Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Pasal 1 Peraturan Pemerintah tersebut kemudian menjelaskan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan jasa konstruksi. Berdasarkan pada PP tersebut perlu diperhatikan bahwa jasa konstruksi yang menjadi objek PPh final pasal 4 (2) itu memiliki  pengertian yang luas, tidak hanya pelaksanaan konstruksi, berupa kegiatan untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, tetapi juga termasuk dari kegiatan perencanaan hingga pengawasannya. Oleh karena itu, wajib pajak perlu secara cermat mengidentifikasi jasa konstruksi sesuai ketentuan PP No. 51 tahun 2008 di atas,  apabila terdapat jasa konstruksi sebagaimana didefinisikan,  maka penghasilan dari jasa konstruksi tersebut dikenakan PPh pasal 4 (2). 

Untuk tujuan pelaporan keuangan, penghasilan jasa konstruksi  diukur dengan menggunakan standar akuntansi keuangan (PSAK No. 34), yaitu berdasarkan presentasi penyelesaian pekerjaan (percentage-of-completion method). Dengan metode ini penghasilan diukur/diakui dengan menggunakan basis estimasi persentase penyelesaian pekerjaan. Presentase penyelesaian dapat dihitung dengan dua pendekatan: 1) perbandingan antara biaya yang sudah dikeluarkan (actual expense) dengan total anggaran penyelesaian pekerjaan, dan 2) berdasarkan presentasi penyelesaian fisik/teknis pekerjaan konstruksi. Estimasi presentasi penyelesaiaan yang dihitung tadi kemudian dijadikan basis untuk mengakui besaran penghasilan jasa konstruksi. 

Di luar praktik pengakuan penghasilan untuk tujuan laporan keuangan, diketahui praktik penagihan penghasilan jasa konstruksi tidak selalu mengikuti presentasi penyelesaian pekerjaan seperti untuk tujuan pelaporan keuangan. Penagihan jasa konstruksi dilakukan mengikuti kesepakatan antara perusahaan konstruksi dengan pengguna jasa. Penagihan umumnya disertai dengan penerbitan faktur. Misalnya, saat ditandatangani kontrak konstruksi disepakati bahwa si pengguna jasa membayar sejumlah nilai tertentu sebagai uang muka pekerjaan, kemudian setiap bulan/kuartal/semester dilakukan pembayaran angsuran hingga lunasnya biaya jasa konstruksi. Nilai-nilai yang dicantumkan dalam faktur tidak selalu berkorelasi dengan presentasi penyelesaian pekerjaan. Praktek penagihan demikian lebih mencerminkan syarat-syarat pembayaraan (term of payment) untuk memenuhi kesepakatan para pihak dari pada menyesuaikan dengan presentasi penyelesaian pekerjaan sebagaimana untuk tujuan pelaporan keuangan. 

Mengingat metode pengakuan penghasilan untuk tujuan laporan keuangan dan untuk tujuan penagihan menghasilkan jumlah penghasilan yang tidak selalu sama, maka  dalam pengenaan PPh pasal 4 (2) atas penghasilan jasa konstruksi harus terlebih dahulu mengetahui penghasilan menurut cara mana yang menjadi dasar pengenaan PPh final. Selain itu,  juga perlu diketahui kapan terutangnya PPh pasal 4 (2) tersebut.

Untuk menjawab kedua pertanyaan di atas dapat merujuk pada pasal 5 ayat (2) PP No. 51 tahun 2008. Pasal tersebut menyebut penghasilan sebagai dasar pengenaan PPh Pasal 4 (2) sebagai berikut: Besarnya Pajak Penghasilan yang dipotong atau disetor sendiri adalah jumlah pembayaran/jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk PPN, dikalikan tarif PPh. Oleh karena itu, dari pasal ini dapat dipahami yang dimaksud penghasilan sebagai dasar pengenaan PPh pasal 4 (2) adalah jumlah pembayaran/jumlah penerimaan pembayaran, tidak termasuk PPN. Jumlah pembayaran digunakan sebagai dasar pengenaan PPh pasal 4 (2) apabila PPh pasal 4 (2) dipotong  oleh pengguna jasa, sedangkan  penerimaan pembayaraan digunakan sebagai dasar pengenaan PPh apabila PPh pasal 4 (2) dipotong dan disetorkan sendiri oleh perusahaan jasa konstruksi. Adapun mengenai nilai Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran tersebut disebutkan secara lebih tegas pada pasal 5 ayat (3 ), yaitu  merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi.

Mengenai kapan terutangnya PPh pasal 4 (2) dapat mengacu pada pasal 5 ayat (1). Pasal ini menyebutkan bahwa Pajak Penghasilan yang bersifat final a) dipotong oleh Pengguna Jasa pada saat pembayaran, dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak; atau b) disetor sendiri oleh Penyedia Jasa, dalam hal Pengguna Jasa bukan merupakan pemotong pajak. Dengan demikian, berdasarkan pasal ini bahwa terutangnya PPh pasal 4 (2) adalah tergantung pada adanya pembayaran. Ketika pembayaran dilakukan oleh pengguna jasa, maka pada saat itu pula kewajiban PPh pasal 4 (2) terutang dan langsung dipotong oleh pengguna jasa. Dalam hal pengguna jasa tidak memotong, karena alasan tertentu, maka perusahaan jasa konstruksi itulah yang melakukan penyetoran pajak ke kas Negara. 

Pasal 5 ayat (1)  hurup (a) ini menambahkan anak kalimat  Ã¢€Å“dalam hal Pengguna Jasa merupakan pemotong pajak” serta di hurup (b) menambahkan anak kalimat  Ã¢€Å“dalam hal Pengguna Jasa bukan merupakan pemotong pajak”. Dua anak kalimat pada pasal 5 ayat (1) tersebut ditambahkan karena dalam beberapa kondisi, pengguna jasa bukanlah pemotong pajak sehingga tidak dapat melakukan pemotongan PPh pasal 4 (2). Dalam keadaan demikian, perusahaan jasa konstruksi berkewajiban melakukan pemotongan/menyetorkan sendiri kewajiban PPh pasal 4 (2). Contoh pihak yang tidak dapat melakukan pemotongan PPh ini adalah perseorangan yang tidak memiliki NPWP, atau entitas lain yang berada di luar negeri dan bukan subjek pajak Indonesia.

Dari uraian di atas, kini menjadi jelas bahwa Pasal 5 pada Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2008  sudah dapat menjelaskan nilai penghasilan yang menjadi dasar pengenaan PPh pasal 4 (2). Karena terutangnya PPh pasal 4 (2) terkait dengan pembayaran, maka nilai penghasilan yang dimaksud adalah nilai pembayaran. Jumlah pembayaran atau jumlah penerimaan pembayaran sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (3) merupakan bagian dari Nilai Kontrak Jasa Konstruksi. Fakta bahwa laporan keuangan perusahaan jasa konstruksi mencatat/mengakui penghasilan berdasarkan metode prosentase penyelesaian pekerjaan, hal ini tidak mempengaruhi besaran penghasilan yang harus dihitung PPh pasal 4 (2). Walaupun  kemungkinan terjadi perbedaan antara jumlah penghasilan yang diakui dalam laporan keuangan dengan penghasilan yang dihitung PPh pasal 4 (2), perbedaan tersebut (jika terjadi) tidak merupakan suatu kesalahan dalam perhitungan kewajiban PPh pasal 4 (2) jasa konstruksi. Sedangkan mengenai kapan terutangnya PPh pasal 4 (2) atas jasa konstruksi, jelas pula disebutkan pada pasal 5 PP No. 51 tahun 2008, yaitu pada saat terjadinya pembayaran oleh pengguna jasa kepada perusahaan jasa konstruksi. Walaupun faktur sudah diterbitkan dan dikirimkan kepada pengguna jasa, namun sepanjang pengguna jasa belum melakukan pembayaran, maka tidak terutang PPh pasal 4 (2).  Demikian juga jika pengguna jasa berada di luar negeri atau bukan merupakan pemotong pajak, kewajiban menyetorkan sendiri PPh pasal 4 (2) baru akan timbul pada saat pembayaran diterima oleh perusahaan jasa konstruksi***


Author : Russell Bedford SBR


Tidak ada komentar:

Posting Komentar